HUKUM KEWARISAN ADAT MINANGKABAU MENURUT PEMIKIRAN HAZAIRIN DAN AMIR SYARIFUDDIN

Linda Firdawaty, Achmad Moelyono

Abstract


Pelaksanaan pembagian harta peninggalan berbedaantara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan adat dan kebiasaan serta dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut masyarakat. Masyarakat Minangkabau dengan system kekerabatan matrilinial menerapkan system pewarisan kolektif terhadap harta pusaka tinggi. Sedangkan terhadap harta pencaharian (pusaka rendah) diterapkan hukum fara’idh.

Hazairin memandang bahwa waris adat Minangkabau menganut sistem kolektif, karena harta peninggalan diwarisi secara bersama-sama (sekumpulan ahli waris) dan tidak dapat dibagi-bagi.Menurut Hazairin masyarakat yang dikehendaki al Qur’an adalah masyarakat bilateral dan masyarakat yang menganut sistem patrilinial dan matrilineal adalah penyimpangan. Sedangkan Amir Syarifuddin berpendapat bahwa sistem pewarisan kolektif terhadap harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena tidak diatur dalam Alqur’an dan Hadits.Al-Qur’an hanya mengatur peralihan harta waris menjadi hak masing-masing ahli waris, sehingga harta pusaka tinggi ini terhindar dari ketentuan hukum faraidh. Beliau berargumen bahwa pembagian waris adalah menyangkut hak hamba, dan terhadap hak hamba tersebut boleh  menyimpang dari ketentuan syari’at jika dilakukan atas dasar adanya kerelaan para pihak.

 

Kata Kunci : Hukum Kewarisan, Adat Minangkabau, Pemikiran Hazairin dan Amir Syarifuddin.




DOI: http://dx.doi.org/10.24042/asas.v10i01.3268

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2018 ASAS



 

ASAS : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah [The ASAS Journal of Sharia Economic Law] is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Copyright © Sharia Economic Law Department, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. e-ISSN 2722-86XX